Titipan Cinta


Penulis : Elfrida Kerek 

Subuh itu, ketika semuanya masih terlihat remang – remang, tidak gelap dan juga terang pun belum datang. Hana bangun dari tidurnya. Seperti biasa, ia masuk ke toilet dan setelah beberapa menit keluar dan memulai doa paginya. Sejak semalam Hana tidur tidak begitu baik. Hari ini ia dan suaminya, Erik, berencana untuk ke dokter. Mereka akan memeriksa keadaan kesehatan Hana, karena beberapa minggu terakhir kesehatan Hana sedikit terganggu.

Sore itu di ruang dokter.

“Selamat ya Pak dan Ibu. Ibu Hana positif hamil.” Kalimat yang diutarakan seolah – olah menjadi kalimat terindah untuk Hana dan Erik. Sungguh, memang ini yang mereka harapkan. Memang ini yang ada dalam tiap doa mereka hampir setahun terakhir ini. Setelah Dinda anak ke 3 mereka berusia 6 tahun, Hana dan Erik memimpikan untuk memiliki seorang bayi. Dan pada hari ini doa itu pun terkabulkan.

“Syukurlah. Terima kasih Dok.”

Hana dan Erik kembali ke rumah dengan perasaan bahagia yang tak dapat diungkapkan dengan apa pun. Hanya senyuman dan pelukan yang dapat menggambarkan kebahagiaan mereka.

“Jadi, kita mau punya dede bayi Ma?

“Iya sayang. Jangan lupa terus berdoa, biar Dede bayinya sehat selalu.” Hana tersenyum dan memeluk ke dua putrinya Nanda dan Dinda. Hana dan Erik tidak dapat menyimpan kabar suka cita itu sendiri. Mereka harus memberitahukan pada ke dua putri mereka. Dan betapa kegembiraan itu terpancar dari ke dua putri mereka. Hari itu merupakan hari yang penuh kebahagiaan dalam rumah mereka.

Tiga bulan berlalu. Keadaan Hana sangat lemah. Mual, muntah membuat kesehatan Hana sedikit buruk. Kehamilan kali ini sangatlah berbeda dengan kehamilan – kehamilan Hana sebelumnya. Namun ia tetap berdoa untuk semuanya akan baik – baik saja. Bahkan Hana yakin, jika di awal kehamilan ia sudah merasakan kesengsaraan seperti ini, pasti proses persalinan nanti akan dimudahkan oleh Tuhan. Keadaan Hana sangat tidak baik, namun ia tetap berusaha kuat dan kuat. Seburuk dan selemah apa pun keadaannya ia terus menjaga kandungannya agar tidak terjadi hal – hal yang buruk dan semua pemeriksaan medis menyatakan bahwa keadaan bayi baik – baik saja. Ini juga merupakan suatu kekuatan bagi Hana untuk melewati masa – masa sulit kehamilannya.

Sembilan bulan sudah berlalu. Keadaan Hana semakin membaik menjelang masa persalinan. Erik, Nanda dan Dinda pun senang. Mereka tidak khawatir lagi.

Pagi itu, tepatnya tanggal dua puluh empat Mei Hana sudah berada di salah satu Rumah Sakit. Tim medis memperkirakan bayi akan lahir sekitar siang atau sore ini.

“Nanda, ingat ya… lombanya yang semangat ya…”

Hari itu Nanda putri ke dua mereka akan mengikuti lomba di sekolahnya.

“Siap Ma! Semoga bisa menang ya Ma.”

“Amiin…” Hana tersenyum dan memeluk Nanda. Kemudian Nanda pergi meninggalkan Mamanya.

Siang itu menjelang persalinan, semua hasil pemeriksaan medis dinyatakan baik. Dan itu menjadi satu motivasi bagi Hana untuk mengumpulkan sekuat tenaga sehingga persalinan dapat berjalan dengan baik. Ini adalah persalinan normal Hana yang ke empat.

Pukul tiga sore lewat sepuluh menit. Bayi kecil itu lahir ke dunia dengan berat dua koma Sembilan kilogram. Tapi ……. Kali ini tidak sama seperti sebelum – sebelumnya. Tidak ada suara tangis bayi. Seketika suasana berubah menjadi tegang, panik, wajah tim medis terlihat serius dan tegang.

“Suster, bagaimana anak saya?”

“Bu Hana tenang dulu ya, anak Ibu baik kok.”

Hana berusaha mengikuti apa yang disarankan para perawat. Beberapa menit berlalu. Hati Hana mulai cemas, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Suster bagaimana dengan anak saya?kenapa dia tidak menangis? Mana anak saya Suster? Apa saya bisa melihatnya?” Hana mulai tidak tenang, beberapa Suster berusaha menenangkan Hana.

“Ibu Hana, tolong jaga emosi Ibu. Ini demi kebaikan Ibu. Kami sedang berusaha yang terbaik.” Oh…Tuhan! Apa ini? Apa maksud kalimat terakhir itu? Kami sedang berusaha yang terbaik.apa maksud kalimat itu? Kalimat itu tidak seindah kalimat yang didengar Sembilan bulan lalu. “Selamat ya Pak, Ibu Hana positif hamil.” Kalimat ini tidak seindah kalimat itu. Ada apa ini? Ada begitu banyak perasaan dalam hati dan pikiran Hana. Ia ingin sekali melihat bayinya. Tapi … ia juga mengingat Erik, Nanda dan Dinda. Ia harus tetap menjaga kesehatannya demi suami dan ke dua putri tercintanya.

Beberapa saat kemudian dengan tubuh yang masih harus terbaring di atas ranjang persalinan Hana mendengar percakapan dokter dan Erik

“Pak Erik, bayi anda perempuan. Tapi maaf, kami sudah berusaha yang terbaik, namun Tuhan berkehendak lain.” Kami harap Pak Erik dan Ibu Hana diberikan ketabahan.”

Oh…Tuhan…kalimat itu seakan – akan membuat Hana tak berdaya. Hancur sudah semuanya. Hancur sudah semua harapan dan kebahagiaan yang kami nanti – nantikan ingin menimang seorang bayi mungil. Ya Tuhan….Apa ini?Kenapa Tuhan? Hana benar – benar tak mampu dengan keadaan ini. Sekilas ia membayangkan wajah ke dua putrinya Nanda dan Dinda yang sudah begitu sangat senang bahwa hari ini Hana akan pulang dan membawakan pada mereka seorang dede bayi yang lucu, imut. Tapi …… oh….Tuhan…. Hana tak sanggup membayangkan rasa kecewa ke dua putrinya. Itu akan menambah rasa sakit karena kehilangan ini. Tuhan…. Batin Hana merintih dalam ketidakberdayaan.

“Sayang…..yang kuat ya…. Kita harus bisa ikhlas…..” Erik memeluk Hana. Pelukan yang begitu erat seolah – olah ingin mengatakan bahwa sebenarnya Erik juga tidak sanggup dengan rasa kehilangan ini. Namun Erik pun harus berusaha setegar mungkin demi menguatkan Hana. Bagaimana pun Hana harus tetap menjaga emosinya. Agar kesehatannya tidak terganggu pasca melahirkan. Hana menangis dalam pelukan Erik suaminya.

“Ya Tuhan….. ini sungguh berat…..ini adalah kehilangan yang ke dua dalam rumah tangga kami……Tuhan……..”batin Erik menangis dengan tetap memeluk Hana. Berharap pelukan ini bisa membuat Hana sedikit lebih kuat. Tiga belas tahun yang lalu, kelahiran putra pertama Hana dan Erik pun mengalami hal yang sama. Bayi mereka meninggal setelah dilahirkan. Dan hari ini sebuah pisau kembali ditancapkan di tempat luka yang sama, yang harusnya sudah hampir sembuh seiring berjalannya waktu. Tapi hari ini…….tidak…… isak tangis Erik dan Hana menghantarkan kepergian bayi kecil mereka.

“Dede bayi kenapa Ma?”Tanya Dinda

“Sayang, Tuhan memanggil pulang kembali Dede bayi.” Hana menjawab pertanyaan Dinda dengan hati yang sangat hancur.

“Maksudnya ma?” Nanda kembali bertanya meskipun sebenarnya ia sudah tahu bahwa dede bayinya sudah tiada.

“Tapi kenapa Ma?” Dinda kembali bertanya. Hana hanya bisa memeluk ke dua putrinya.

“Ma…apa kita boleh melihat dede bayi?” Tanya Nanda

“Boleh sayang.”

Beberapa bulan berlalu. Perlahan kesedihan itu mulai hilang, hilang ditiup angin, hilang dihapus embun pagi, hilang dibakar terik mentari, hilang bersama merahnya senja, namun tetap abadi dalam gelapnya malam dan indahnya mimpi karena bayi mungil itu hanya dapat dijumpai oleh Erik, Hana, Nanda dan Dinda lewat mimpi mereka masing – masing.

Waktulah yang akan mengobati segala luka. Dan seiring berlalunya waktu, Hana pun perlahan menyadari bahwa semua yang Tuhan buat adalah baik adanya. Biarlah semua air mata, kecewa, sedih dan pedih terhapus dengan ungkapan syukur. Syukur bahwa Tuhan masih terus menjaga keluarga kecilnya. Erik, Nanda, Dinda dan juga dirinya. Syukur karena Tuhan sempat menitipkan buah cinta itu, meski hanya sebentar……itu adalah titipan cinta terindah. Kehadiran dede bayi akan abadi dalam tiap hembusan nafas mereka.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2020 soepost.com ™ Member Of Kupang Online Network ®