Pilkada 2020, Tantangan Menjaga Kewarasan Demokrasi - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 30 September 2020

Pilkada 2020, Tantangan Menjaga Kewarasan Demokrasi

Munawar Anggota Bawaslu Halteng (Dok Ist)

MANUS.ID-Opini -- BEDUG Pemilihan Kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota secara serentak di tahun 2020 telah ditabu. 


Berbagai agenda dan rencana strategis Penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ditingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dilakukan dalam rangka mengantar serta mengawal proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan harapan jujur, adil dan demokratis


Demokrasi dalam alam pikir Indonesia bukan sekedar alat teknis, melainkan cerminan alam kejiwaan, kepribadian dan cita-cita Nasional (Baca Negara Pripurna, Yudi Latif : 475).


Berangkat dari semangat tersebut, seyogyanya Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2020 tidak dipandang hanya sebatas berebut tahtah dan kuasa melainkan cita-cita mewujudkan kehendak rakyat melalui kekuasaan yang luhur.


Dewasa ini, demokrasi kita diperhadapkan pada tantangan yang tidaklah mudah. Tentunya, tantangan yang sulit itu membutuhkan tekad dan komitmen yang tangguh dalam mempraharakan demokrasi kita yang penuh dilema.


Didalam cara pemikiran kita, atau lebih tegas lagi didalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat bukan sekedar alat saja. Kita berpikir dan berasa bukan sekedar hanya secara teknis, tetapi juga secara kejiwaan, secara psikologis nasional dan secara kekeluargaan.

 

Pendidikan Politik dan Tantangan Politik Uang


Demokrasi yang kita agung-agungkan sebagai sarana kedaulatan rakyat tentu memiliki tujuan yang luhur. Ketika rakyat diikutsertakan dalam kekuasaan, maka harus disediakan penghargaan buat rakyat.


Dalam konteks ini, piranti politik harus dihadirkan untuk mendukung kualitas demokrasi dimaksud yakni Education Politic. Pendidikan politik sebagai sarana terpenting dan fundamental dalam mengasah kualitas demokrasi Indonesia.


Pendidikan politik dan demokrasi kita harus terus menerus dilaksanakan oleh setiap kita terutama penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) dan Partai Politik yang memiliki kepentingan langsung dengan hajatan politik lima tahunan ini.


Para Calon Kepala Daerah (Cakada) dan relawan-relawannya harus punya kemampuan mengurai Visi dan Misinya secara lugas dan mudah dicerna oleh setiap orang. Masalah politik uang (money politic) masih menjadi stimulus yang cenderung dipakai guna mendulang pundi-pundi suara. 


Kita mungkin bersepakat, politik uang adalah kejahatan, tetapi pola politik ini kerap kali muncul sebagai senjata pamungkas bagi mereka yang tidak percaya diri memenangkan pertarungan.


Rakyat dipaksa menggadaikan suaranya demi suatu materi hanya karena watak politisi yang �tak pandai merayu� simpati rakyat. Panggung dan mimbar-mimbar politik tidak mampu dimanfaatkan untuk sebuah pencerahan pada rakyat. Padahal malapetaka politik uang sudah tentu merusak tatanan politik dan demokrasi juga manusia di negara ini.


Lebih dari itu, banyak calon kepala daerah atau tim sukses tidak tertarik membaca dan memahami setiap regulasi yang berkaitan dengan kepentinganya. Ironisnya, rakyat pun terseret dalam lingkaran kejahatan itu tanpa mengerti akibat dari prilaku penyimpangan tersebut. Para kontestan pun kehilangan narasi ideal untuk disuguhkan pada khalayak ramai.


Pasal 187A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyatakan pada ayat satu bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih,


menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).


Ayat dua menyatakan bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Tentunya kita semua berharap agar hukum harus tetap menjadi panglima tertinggi serta merawat akal pikiran tiap-tiap manusi Indonesia hanya dengan memberikan pemahaman yang baik dan bertanggung jawab.

 

Menjaga Kewarasan Demokrasi


Manusia dituntun oleh pikiran serta hatinya. Karena itu manusia menjadi mahluk paling ideal diantara mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa lainya. Dalam praktik politik manusia dituntun oleh akal juga hatinya untuk terus menjaga stabilitas dirinya sendiri ditengah situasi dan dinamika yang berkecamuk dan sarat kepentingan.


Berkaca dari pengalaman baik Pemilihan Umum maupun Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota beberapa waktu lalu, hal yang paling terpenting adalah memastikan setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih tidak kehilangan kesempatan untuk menyalurkan kehendak politiknya kepada siapa masa depan manusia dan daerahnya akan diberikan amanah.


Lagi-lagi akal menjadi keharusan. Pikiran menjadi media yang paling berperan dalam memahami setiap peristiwa-peristiwa politik. Dan hati menjadi penuntun pada setiap fase menuju keputusan akhir dalam sebuah pertaruangan dan pilihan-pilihan politik. Kekuatan akal dan pikiran serta hati inilah yang kita harapkan akan menyudahi setiap kebengisan dalam demokrasi.


Karena rakyat adalah objek dari akumulasi kepentingan itu, sudah tentu harus disediakan ruang berfikir yang baik sehingga akan melahirkan kesepakatan ideal hasil dari kontempelasi yang sadar. Bahwa menjaga kewarasan adalah sebuah �upaya� dalam menghadirkan kembali secercah pikiran dan narasi ideal yang hilang dibenak pencari kekuasaan (Partai Politik dan Politisi). 


Akibat hilangnya kekuatan pikiran dan dan kekuatan hati itu kerap membuat para �Pengemis� kuasa itu menggenosida pikiran-pikiran ideal yang dimiliki manusia (warga negara).


Sesungguhnya pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Indonesia adalah sebuah bentuk pelaksanaan negara demokratis yang kita harapkan dapat melahirkan rasa optimisme terhadap pelembagaan nilai-nilai hukum dan nilai keadilan yang hakiki. 


Hadirnya prinsip hukum dan keadilan disetiap fase demokrasi pada daerah-daerah pelaksana Pilkada tahun 2020 sangat berarti sebagai wujud pemilu atau pemilihan tidak sekedar penekanan pada proseduralisme demokrasi yang miskin substansi hukum.


Kita semua meletkakkan harapan pada lembaga-lembaga pemilu, partai politik  dan individu-individu  yang memiliki kepentingan dengan kekuasaan hari ini ataupun kelak untuk menuntun setiap warga negara pada kecerdasan pikiran dan kekuatan hati demi terwujudnya proses politik dan demokrasi yang maju dan bermartabat. Semoga.

 

Penulis : Munawar Wahid (Anggota Bawaslu Halmahera Tengah)

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman