Membaca Arah Kebijakan Pembentukan UU Cipta Kerja - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 29 Oktober 2020

Membaca Arah Kebijakan Pembentukan UU Cipta Kerja

MANUS.ID Opini - Jika kita membaca konsideran undang-undang cipta kerja, akan ditemukan bahwa arah kebijakan (politik hukum) dari undang-undang tersebut adalah pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui penciptaan lapangan kerja.

Sebagaimana tertuang dalam bagian menimbang huruf a Undang-Undang Cipta Kerja bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD- Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja.

Dengan penciptaan lapangan kerja tersebut diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya. Setidaknya ada dua alasan,

pertama pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMK-M), dimana masyarakat akan diberikan kemudahan dalam mendirikan koperasi dan untuk UMK-M akan diberikan kemudahan dalam izin usaha, diberikan ruang promosi dan ruang usaha serta diberikan pembinaan.

Kedua, meningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Menyangkut kemudahan berusaha prinsipnya adalah pemerataan. Artinya kemudahan berusaha dalam Undang-Undang Cipta Kerja berlaku tidak saja bagi Koperasi dan UMK-M, tetapi untuk semua pelaku usaha.

Sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur tentang asas pemerataan hak. Dari uraian di atas, secara sepintas,

Arah kebijakan atau politik hukum dari Undang-Undang Cipta Kerja terlihat baik karena bertujuan untuk memenuhi hak masyarakat atas pekerjaan dan kehidupan yang layak melalui penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, serta peningkatan Ekosistem Investasi dan Kemudahan Berusaha.

Tetapi jika ditelaah lebih lanjuyt terdapat kontradiksi dan permasalahan yang sangat serius di dalamnya.  Mengenai peningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, politik hukumnya mengarah pada masyarakat dan lingkungan, perburuhan, serta perizinan.

Para pembentuk undang-undang berasumsi bahwa keterlibatan masyarakat dan upaya untuk melindungi lingkungan, masalah perburuhan, serta perizinan merupakan faktor yang mengganggu iklim investasi dan kemudahan berusaha.

Oleh karena itu harus disingkirkan agar ekosistem investasi dan kemudahan berusaha meningkat.
Pertanyaannya adalah lantas apa artinya
upaya pemenuhan hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, jika buruh,
masyarakat dan lingkungan sebagai faktor yang sangat menentukan bagi terpenuhinya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,
justru oleh mereka dipandang sebagai persoalan yang mengganggu iklim investasi dan kemudahan berusaha?

Dari bangunan pemikiran di atas, dapat di lihat bahwa terdapat kontradiksi dalam arah kebijakan undang-undang cipta kerja, yang dimaksudkan untuk memberikan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, pemberdayaan koperasi dan UMK-M, serta peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.

Justru Sebaliknya. Di dalam konsideran undang-undang cipta kerja dinyatakan bahwa untuk mendukung penciptaan lapangan kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek regulasi yang berkaitan dengan perlindungan koperasi dan UMK-M,

tetapi memberikan porsi yang besar terhadap iklim investasi dan kemudahan berusaha yang berlaku untuk semua pelaku usaha berdasarkan prinsip pemerataan (asas pemerataan hak).

Artinya dengan adanya kemudahan berusaha yang berlaku untuk semua pelaku usaha (bukan hanya koperasi dan UMK-M) maka kemudahan berusaha tersebuk juga berlaku bagi korporasi-korporasi besar. Lantas apa artinya perlidungan terhadap koperasi dan UMK-M, jika pada akhirnya dibiarkan bertarung dengan pelaku-pelaku usaha besar. Jadi terjadi kontradiksi antara perlindungan Koperasi dan UMK-M dengan iklim investasi dan kemudahan berusaha yang berlaku bagi semua pelaku usaha.

Kontradiksi berikutnya yang terdapat dalam arah kebijakan undang-undang cipta kerja adalah antara pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.

Di nyatakan dalam konsideran bahwa undang-undang cipta kerja dimaksudkan untuk pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tetapi masalah perburuhan dianggap sebagai faktor yang mengganggu ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.

Dan hal tersebut diungkapkan juga oleh Pemerintah bahwa salah satu faktor penghambat investasi di Indonesia adalah karena tingginya tingkat kenaikan upah buruh pertahun (tertinggi di asia tenggara, 8,5%).

Sehingga untuk meningkatkan investasi dan kemudahan berusaha maka diselesaikanlah persoalan perburuhan dengan cara mengurangi hak-hak buru sehingga terjadi posisi yang tidak berimbang antara pengusaha dan buruh.

Padahal aturan perburuhan dibuat karena ada posisi yang tidak berimbang antara pengusaha dan buru. Ketika ada yang tidak seimbang maka akan terjadi ketidakadilan. Selanjutnya disebutkan bahwa undang-undang cipta kerja dibuat untuk memenuhi hak warga negara atas penghidupan yang layak.

Dan untuk mencapai penghidupan yang layak tentu harus ada partisipasi masyarakat dalam pembangunan, partisipasi dalam menentukan mana yang boleh dan tidak boleh, dan penghidupan yang layak juga ditentukan oleh daya dukung lingkungan.

Tetapi di dalam undang-undang cipta kerja, dari sisi aspek lingkungan, terjadi pelemahan peran serta masyarakat dan perlindungan lingkungan. Mengenai pelemahan peran masyarakat dapat di lihat dalam ketentuan Pasal 22 poin 3 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 24 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut :

(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.
(2) Uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji kelayakan lingkungan hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup Pemerintah Pusat.
(3) Tim uji kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat.
(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup.
Artinya, dari perubahan di atas maka akan terjadi sentralisasi pembentukan Tim persetujuan Amdal dan masyarakat tidak terlibat lagi dalam proses penilaian Amdal (pelemahan peran masyarakat).

Berikutnya dalam konteks Amdal, peran masyarakat dalam pengambilan keputusan berkurang. Undang-Undang Cipta Kerja membatasi partisipasi publik dengan cara membatasi masyarakat yang berpartisipasi menjadi hanya masyarakat terdampak (Pasal 22 poin 5).

Yang jika dibandingkan dengan UU 32/2009, masyarakat yang berpartisipasi dalam penyusunan Amdal adalah masyarakat terkena dampak, pemerhati lingkungan, dan yang akan terpengaruh oleh keputusan dalam proses amdal (Ps. 26 ayat 3).

Undang-Undang Cipta Kerja membatasi peran masyarakat dengan mengizinkan partisipasi hanya dalam proses penyusunan Amdal (Ps. 22 poin 5 ayat 2). Yang di dalam UU 32/2009,

Jadi terdapat kontradiksi antara upaya untuk memenuhi hak penghidupan yang layak tetapi faktor-faktor yang mendukung penghidupan yang layak tersebut dihilangkan

karena dipandang sebagai gangguan terhadap ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Tujuannya untuk memenuhi hak penghidupan yang layak tetapi pada saat yang sama melemahkan peran masyarakat dan perlindungan lingkungan.

Penulis : Abd Rasid. G Ripamole (Mahasiswa Hukum UJB Yogyakarta & Pengurus hmi Cabang Yogyakarta Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman