Theology Of Childhood Dalam Konteks Anak Penting Bagi Kita - SOE POST

Berita Soe TTS

test banner

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 15 Juni 2022

Theology Of Childhood Dalam Konteks Anak Penting Bagi Kita

 


(Oleh: Margarita D. I. Ottu, S.Pd.,M.Pd.K)

Apa Yang Penting Bagi Anak, Menjadi Penting Bagi Kita” merupakan suatu ungkapan sarat makna yang menjadi refleksi bagi semua elemen dalam menyikapi tingginya angka kekerasan terhadap anak.

Pada era revolusi industri, sangat terasa saat-saat kritis, berbagai nilai-nilai sedang mengalami pergeseran, kita berada dalam dua tarikan yaitu globalisasi pada satu sisi dan arus primordialisme pada sisi lain, kedua tarikan arus ini dapat menimbulkan permusuhan dan perselisihan dan dapat pula terjadi kekerasan.

Kekerasan (Ing. violence, dari Lat. violare "memakai kekuatan") artinya pemakaian kekuatan untuk melukai, membahayakan, merusak harta benda atau orang secara fisik maupun psikis. Secara filosofis, fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antar pribadi, dimana orang tidak lagi bisa duduk bersama untuk memecahkan masalah. Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan, dan ketidak percayaan serta tidak ada dialog, apalagi kasih.

Semangat mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar daripada semangat melindungi. Fenomena ini sebagai bukti krisis nilai sungguh-sungguh mengancam hidup manusia, bahkan sekarang ini secara bertahap sedang berlangsung proses pengikisan nilai-nilai terdalam dari cinta kasih dari kehidupan karena proses hedonisme, komsumerisme, nafsu akan uang dan kekuasaan, kurangnya respek terhadap hidup serta semua jenis materialisme. Dampak pengikisan nilai-nilai akan memunculkan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan masalah moralitas seperti kekerasan, pelecehan, pertikaian, konflik, permusuhan, Dalam situasi demikian, keluarga sebagai komunitas inti dan vital dan paling kecil merupakan tempat penanaman, persemaian cita-cita, persaudaraan, nilai-nilai kristiani dikembangkan secara optimal sehingga membentuk karakter Kristen pada diri anak sejak dini.

Anak merupakan pribadi yang rapuh sehingga ia hanya dapat bertahan ketika ada orang lain yang mengasuh dan memeliharanya. Penerimaan, kasih, dan perlindungan dari orang tua dan orang-orang yang berada di sekitarnya merupakan kebutuhan utama bagi anak-anak. Namun realita yang terjadi, tidak semua mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Ada begitu banyak anak yang tertolak, terbuang, dan bahkan tidak diinginkan oleh orang tuanya sendiri.

Persoalan yang dihadapi oleh anak-anak yang tidak diinginkan menjadi fokus subjek yang dilihat melalui pandangan masyarakat dan yang terutama dari perspektif teologis.

Jika ditinjau dari pandangan  masyarakat dan sosial maka nilai anak diterjemahkan sebagai kepuasan psikologi yang anak berikan kepada orang tua. Hal Ini menunjukkan bahwa seorang anak berharga ketika ia memberikan sesuatu yang baik dalam keluarga dan masyarakat.

Hoffman menerjemahkannya ke dalam tujuh nilai, yaitu  primary group ties and affection (pengikat keluarga yang utama), stimulation and fun (pendorong dan kegembiraan), expansion of the self (pengembangan diri), adult status and social identity (status dan identitas sosial), achievement and creativity (pencapaian dan kreatifitas), morality (moralitas), economic utulity (nilai ekonomi). Ketujuh nilai anak ini menunjukkan bahwa anak berharga. Tetapi di sisi yang lain, masih banyak anak yang tertolak. Ketika nilai anak dalam masyarakat dan keluarga hanya berlaku bagi anak-anak “normal”, maka anak yang tidak diinginkan tidak mendapat tempat dan penghargaan. Dalam kondisi yang dianggap masyarakat tidak berharga.

Theology of Childhood merupakan sebuah pandangan teologi yang menempatkan anak sebagai pribadi yang berharga pada dirinya sendiri. Dalam kisah Yesus memberkati anak - anak yang tertulis dalam semua Injil Sinoptik, Yesus mengajarkan tiga hal mengenai anak yaitu, anak sebagai pewaris kerajaan Allah, anak sebagai model untuk masuk ke dalam kerajaan Allah, dan anak sebagai representasi kehadiran Yesus. Pada masa dimana anak merupakan posisi yang rendah dalam struktur masyarakat, Injil menggambarkan Yesus yang memberkati, menyambut, dan menyentuh mereka. Ketiga hal ini mengacu pada nilai anak yang berharga pada dirinya sendiri.

Gereja, yang mengakui dirinya sebagai komunitas iman dalam Kristus Yesus, seharusnya mengikuti pandangan Yesus dalam menempatkan anak sebagai yang berharga. Dalam hal ini, gereja dapat menjalankan tugas profetiknya sebagai tempat pendidikan dan tempat perlindungan bagi anak-anak.

Konteks dalam Matius 18:1-5 ialah Kerajaan Sorga. Masalah dalam perikop ini muncul ketika para murid bertanya mengenai siapakah yang terbesar dalam kerajaan sorga. Jawaban Yesus sesungguhnya bukan saja menjawab pertanyaan mereka, namun juga memberikan pengertian yang benar tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dimiliki sebagai warga kerajaan Sorga.

Tugas utama teologi anak adalah membuat koreksi terhadap teologi-teologi yang tidak menempatkan anak-anak dalam pusat refleksi dan perumusan teologisnya. Pada gilirannya koreksi ini juga  menjanjikan pemahaman baru terhadap teologi dan praktek Kristen secara umum. Jadi anak dijadikan Yesus gambaran untuk memberikan pengajaran kepada murid dengan menempatkan anak-anak di tengah-tengah orang dewasa untuk menjelaskan tentang yang terbesar dalam kerajaan surga.

Anak sebagai Agen Allah secara nyata ketika Yesus membuat pernyataan-pernyataan teologis yang penting dengan anak-anak di tengah murid-murid-Nya atau bahkan dalam gendongan-Nya. Pernyataan yang ditemukan dalam Injil Sinoptik, intinya bukanlah mendesak orang dewasa untuk memperhatikan dan mengajar (atau meninggikan) anak-anak. Pernyataan-pernyataan itu pada dasarnya merupakan segi-segi penting teologi Kristen yakni Kerajaan Allah; kebesaran dan kerendahan hati; perubahan yang diperlukan untuk masuk dalam kerajaan Allah.

Theology of Childhood yang menilai anak berharga pada dirinya sendiri kemudian dilihat dalam konteks anak yang tidak diinginkan. Ketika keluarga dan masyarakat menolak seorang anak karena keterbatasannya, apakah seorang anak masih dianggap berharga bagi Allah?

Theology of Childhood berbicara mengenai betapa berharganya kehidupan setiap anak, juga dalam konteks anak yang tidak diinginkan. Yesus menyambut dan menerima mereka dalam pelukanNya dan memberkati mereka. Dalam segala persoalan yang dihadapi oleh anak-anak yang tidak diinginkan, Theology of Childhood mengajak dan memanggil manusia untuk mengulurkan tangan bagi setiap anak yang rentan dan lemah karena mereka tidak diinginkan. Tidak ada alasan lain menerima anak-anak yang terbuang, selain karena mereka berharga bagi Allah. Nilai anak dalam Theology of Childhood bukan nilai instrumental, melainkan nilai intrinsik, yaitu berharga pada dirinya sendiri karena mereka adalah gambar Allah sendiri.

Walaupun anak-anak dianggap sebagai pribadi yang berharga di mata Tuhan, penindasan dan kekerasan tetap menjadi kenyataan yang dihadapi oleh sebagian anak-anak di seluruh dunia. Ini menunjukkan bahwa pandangan mengenai nilai anak yang sejati belum sepenuhnya dipahami oleh orang dewasa. Sebagai pengikut Yesus, gereja memiliki peran penting dalam memberikan respon terhadap penolakan yang dialami oleh anak-anak sebagai respon iman kepada Yesus yang merangkul orang yang terpinggirkan. Melalui pemahaman Theology of Childhood yang lebih mendalam, gereja diharapkan mampu menjadi sebuah role model yang menghargai, menilai, menerima, dan melindungi anak-anak. Posisi egaliter antara anak dengan orang dewasa tidak dipahami dalam arti kesamaan perlakuan dalam hidup bergereja, melainkan nilai keberhargaan yang sama dalam diri setiap orang. Anak dan orang dewasa dihargai sebagaimana diri mereka, yaitu dalam keberadaanya menjadi anak dan menjadi orang dewasa.

Hal yang berkesan ketika membicarakan pesan Alkitab tentang anak adalah romantisasi kasih Allah pada anak. Anak menjadi perhatian dan kepedulian Allah agar kelangsungan ciptaan secara khusus manusia sebagai ciptaan yang segambar diri-Nya berkelanjutan. Kepada umat pilihan Israel dan sampai masa perjanjian lama, Allah menunjukkan perhatian kepada anak dengan bentuk 1) Pemeliharaan yaitu Pemeliharaan Allah kepada anak, ditunjukkan melalui perintahnya kepada umat Israel, yaitu dalam Imamat 19:9-10; Ulangan24:19-22; 14:22-28; 26:12-13. Allah menunjukkan pemeliharaannya kepada orang yang lemah dan susah, seperti orang asing, janda dan anak yatim. Selain pemeliharaan juga menunjukkan perlindungan-Nya; 2) Pembelaan yaitu Perhatian Allah yang melarang tindak kekerasan terhadap anak (Keluaran22:22-23; 12:29-31). Berbagai seruan untuk bertobat, antara lain bertobat dari pengingkaran hak-hak anak yatim (Yesaya1:17; 10:1-2) dan hukuman yang tidak tanggung-tanggung bagi yang melanggarnya. Dalam Perjanjian Baru Yesus menunjukkan pembelaannya kepada anak saat mengajarkan kepada murid-murid untuk menjelaskan tentang yang terbesar dalam kerajaan surga, Ia melanjutkan pengajaran dengan hal penyesatan (Matius 18:6); 3) Kepedulian. Mazmur 82:1-4 mungkin merupakan petunjuk paling kuat tentang kepedulian Allah pada anak, khususnya mereka yang kurang beruntung dan dalam ancaman perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi.

Seruan Allah untuk memberi keadilan dilakukan dalam “sidang Ilahi” artinya, pemerintahan Allah mempunyai agenda kepedulian Anak. Yesus juga memberi kepedulian kepada anak, ketika murid-murid memarahi orang tua yang membawa anak-anak dengan berkata: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Markus 10:14). Ini menunjukkan Allah sangat peduli untuk membela anak-anak karena anak adalah lemah. Anak merupakan bagian integral dalam harapan masa depan. Zakaria melihat jalan-jalan kota sebagai tempat yang aman dan menggembirakan bagi anak-anak untuk bermain, bersosialisasi, dan berkembang. Dalam Zakaria 8:3-5 dituliskan “Berfirmanlah Tuhan semesta alam: akan ada lagi kakek-kakek dan nenek-nenek duduk di jalan-jalan Yerusalem, masing- masing memegang tongkat karena lanjut usianya. Dan jalan-jalan kota itu akan penuh dengan laki-laki dan perempuan yang bermain di situ.”

Pandangan Kristen tentang anak dapat dikatakan unik karena anak tidak saja mendapat tempat penting bahkan sentral secara sosiologis dan soteriologis dalam kehidupan masa kini tetapi juga tempat pada kehidupan eskatologis. Firman Tuhan dengan jelas dan tegas telah menunjukkan pemeliharaan, pembelaan, kepedulian dan perlindungan kepada kaum lemah dalam hal ini anak.

Theology of Childhood yang menilai setiap anak berharga mengajak setiap orang untuk menghargai kehidupan dan memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, keluarga adalah tempat pertama dibentuknya iman anak, Gereja memiliki tanggung jawab untuk membangun keberanian iman dan mempersiapkan anak untuk menjadi agen misi Allah.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman