Eksistensi Uab Meto Bagi Generasi Z - SOE POST

Berita Soe TTS

test banner

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 11 Juli 2022

Eksistensi Uab Meto Bagi Generasi Z

 


Oleh: Margarita D. I. Ottu, S.Pd.,M.Pd.K

Suatu perspektif Uab Meto adalah warisan budaya Atoin Meto.

Bahasa telah melekat mengiringi kehidupan manusia dan seiring perkembangan zaman menuju dunia global, teknologipun semakin maju, apalagi di era Revolusi Industri 4.0 ini ditandai dengan pola digital economy, artificial intelligence, big data, robotic dan perkembangan lain dari manual menjadi serba digital yang semuanya ini dikenal dengan fenomena disruptive innovation.

Revolusi Industri melibatkan system siber fisik dan melampaui sekedar otomatisasi dan komputerisasi. Kemajuan teknologi memasuki era digital ini berdampak pula pada komunikasi manusia yang menggunakan bahasa sebagai medianya dan media sosialpun turut meramaikan era disruptif teknologi ini.

Mencermati bahasa yang kerap digunakan dalam media sosial, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan di tempat-tempat umum, tempat wisata berupa ungkapan instruksi, pemberitahuan, larangan, pesan, pengumuman, iklan dan lain sebagainya setidaknya telah membuka pemikiran kita tentang arti pentingnya moralitas bahasa yaitu bagaimana cara penggunaan bahasa itu tersampaikan, sikap berbahasa dan estetika bahasanya.

Moral bahasa menjadi sangat penting dalam pranata sosio-kultural masyarakat. Banyak versi bahasa yang digunakan dalam media social (sosmed) yang begitu memaksakan kata-katanya yang cenderung bermakna kasar. “saling serang” menggunakan bahasa sering terjadi dalam komunikasi jejaring sosial.

Gaya bahasa sarkasmepun sering terlontar menyambut lawan bicara di dunia maya. Hal ini menjadi pemicu hilangnya kesantunan berbahasa yang sering tidak dipedulikan oleh pengguna bahasa. Bahasa menjunjung etika budaya dan kesopan santunan dalam bahasa sebagai warisan budaya. Sesungguhnya bahasa memiliki kemampuan untuk meningkatkan kemampuan manusia sampai pada titik homo humanus yakni manusia berbahasa dengan halus, mempunyai rasa kemanusiaan dan berbudaya. Menghadapi situasi tersebut, bagaimanakah kedudukan Bahasa di Era Revolusi Industri 4.0 dan Disrupsi?

Sejarah globalisasi menunjukkan bahwa setiap perubahan zaman memiliki core masing-masing (penggeraknya) yang dipicu oleh perkembangan teknologi yang melahirkan era revolusi industri 4.0 yang tidak hanya sekedar membuka interaksi secara luas namun juga mendisrupi berbagai bidang kehidupan manusia seperti pendidikan, pemerintahan, budaya, politik dan hukum. Sektor budayapun ikut terdisrupsi (culture disruptive) dengan adanya perkembangan media sosial yang masif, telah merekonstruksi struktur  budaya masyarakat.

Perlindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan ayat ini, Negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing. Selain itu, Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Relasi sosial hubungan masyarakat kini lebih erat terbangun dalam dunia maya sehingga hubungan dalam dunia nyata justru menjadi relatif serta adanya kontak bahasa dan budaya yang tidak bisa terelakkan.

Oleh karena itu, perlunya kembali pembelajaran yang mengedepankan menemukan nilai-nilai kearifan lokal melalui kegiatan pembelajaran. Pentingnya mengintegrasikan pembelajaran kontekstual berbasis kearifan lokal. Perlunya sebuah dokumen tertulis terkait profil budaya yang merupakan tindak lanjut dari berbagai budaya lisan. Pentingnya seorang tenaga pendidik menemukan referensi terkait kearifan lokal sehingga memudahkan dalam mengintegrasikan pada pembelajaran.

Kebijakan exoglossic dan endoglossic memiliki pengaruhnya masing-masing dan memiliki sisi positif dan sisi negatif. Di satu sisi exoglossic dibutuhkan dalam upaya pengembangan satu Negara dalam menghadapi era global sedangkan kebijakan endoglossic berupaya untuk melindungi bahasa pribumi atau bahasa lokal dari kepunahan sehingga dapat menghilangkan identitas suatu Negara.

Terabaikannya pengutamaan bahasa daerah di ruang publik seolah-olah menginformasikan bahwa sekat-sekat geografis Negara Indonesia dengan Negara lain dan tanda-tanda kekhasan identitas bangsa ini telah runtuh. Misalnya, di kalangan masyarakat terasa tidak asing lagi bentuk bahasa seperti e-money, e-banking, ucapan selamat datang “welcome to…” dan lain sebagainya yang seringkali ditemui.

Inilah tantangan terbesar  pada era revolusi industri 4.0 dan kondisi bahasa daerah saat ini cukup mengkhawatirkan nyaris punah karena jumlah penutur yang menyusut dan berkurang, bencana alam, kawin campur antar suku, letak geografis suatu daerah tidak menguntungkan, dan sikap masyarakat yang negatif terhadap bahasa daerah. Di era disrupsi, bahasa daerah dianggap hampir tersisihkan meskipun pada kenyataannya bahasa daerah masih tetap digunakan di daerah masing-masing. Untuk dapat menangani hal tersebut perlu kebijakan bahasa didelegasikan melalui sistem pendidikan formal dan non formal, nasional ke pendidikan di tingkat regional dan lokal.

Sebagai alat komunikasi, bahasa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, oleh karena itu bahasa tidak akan pernah mati jika penuturnya masih peduli dan cinta terhadap bahasa tersebut.

Bahasa sebagai bagian dari sarana pendukung ilmu dan teknologi canggih dewasa ini, berkembang selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi canggih itu sendiri. Hal ini memberikan dampak positif bagi perkembangan bahasa, baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Daerah. Perkembangan bahasa itu akan terus berlanjut dengan perkembangan budaya bangsa yang memilikinya karena bahasa sebagai sarana pendukungnya. Itulah sebabnya di era milenial sekarang ini, bahasa Indonesia dan bahasa daerah ikut pula di dalam arena perkembangan dunia sekarang ini sehingga menjadi peluang untuk menerima pengaruh perkembangan tersebut.

Kepunahan bahasa-bahasa daerah merupakan fenomena yang perlu dicermati dan disikapi secara serius dan bijaksana. Tidak hanya bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, Bahasa Daerah (Uab Meto) juga dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Pada saat ini, kalaupun tidak mengarah pada kepunahan, Bahasa Daerah (Uab Meto) sudah mengalami proses perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada pengurangan kosa kata. Kosa kata klasik, misalnya telah tergantikan oleh kosa kata baru dan bahkan hilang sama sekali. Bahasa Daerah (Uab Meto) merupakan bahasa daerah yang memiliki kekayaan kosa kata, idiom, frase, tuturan dan lainnya.

Salah satu penyebab dari permasalahan ini adalah faktor alamiah dan non- alamiah. Faktor alamiah berupa bencana alam, pengaruh bahasa mayoritas, komunitas bahasa yang bilingual atau multilingual, pengaruh globalisasi, migrasi, perkawinan antar etnik tidak dapat dihindari, maka kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, minimnya intensitas pemakaian bahasa daerah. Munculnya kosa kata baru sebagai akibat dari proses asimilasi budaya tentunya perlu disikapi secara serius.

Generasi Z/Gen Z yaitu generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012 dan Secara sosial generasi Z yang dibesarkan di era Revolusi Industri  4.0 memiliki kecenderungan instan terhadap apa yang diinginkan, pemenuhan kebutuhan secara cepat menjadi model layanan yang diagungkan. Di sisi kemudahan yang ditawarkan oleh Revolusi Industri 4.0 menyimpan berbagai dampak negatif yang perlu dicermati secara serius seperti ancaman pengangguran karena otomatisasi, kerusakan alam akibat eksploitasi industri serta maraknya hoax karena mudahnya penyebaran informasi, hilangnya interaksi kekerabatan secara konvensional dengan hati tulus dan sebagainya. Generasi Z merupakan sebuah generasi yang berkembang atau bertumbuh di tengah paparan internet, media sosial, dan teknologi. Generasi ini dipandang sebagai generasi hiperkognitif, yang berarti berpikir sangat cepat. Generasi Z adalah generasi yang membutuhkan banyak informasi dan pembentukan jati diri. Munculnya fenomena profesi easymoney seperti influencer, youtuber, menjadi penanda uniknya generasi ini.

Generasi Z merupakan generasi yang bebas berekspresi dan memiliki perilaku yang unik diantaranya kurang menyukai identitas, komunaholik, fasih dalam berbicara, serta sangat realistis. Kurang menyukai identitas berarti tidak suka mendefinisikan dirinya dalam satu bentuk, komunaholik berarti sangat menyukai kehidupan berkelompok yang saling terkoneksi.

Kearifan lokal yang sanggup bertahan dengan adanya budaya luar, mampu mengakomodasi budaya luar, berkemampuan mengendalikan.

Sebagai contoh, mempertahankan budaya di Kabupaten Timor Tengah Selatan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah menyelenggarakan lomba cerita rakyat dalam Uab Meto jenjang SD, SMP yang menjadi moment bermartabat dan pertama kalinya yang cukup menarik perhatian para siswa dan pecinta budaya. Hal ini menunjukkan adanya atensi positif generasi Z dalam mencintai budaya.

Sebagai saran, khususnya di lembaga pendidikan dapat menerapkan program satu hari berbahasa daerah, penyelenggaraan kegiatan kebudayaan seperti lomba cerita rakyat, cerita Alkitab, lomba khotbah menggunakan Uab Meto, lomba menyanyikan lagu-lagu daerah, lomba fashion show disertai penjelasan assesoris yang dikenakan, lomba cipta menu berbahan dasar makanan lokal dan penjelasan menggunakan Uab Meto, lomba Bonet, lomba Natoni, dan lain sebagainya.

Kekayaan budaya serta keragaman adat istiadat tersebut merupakan pengetahuan luhur yang terus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan yang lahir dari pengalaman generasi terdahulu dalam kaitannya dengan budaya, alam, dan lingkungan dapat menjadi salah satu sumber dalam pembelajaran kontekstual berbasis kearifan lokal yang bermanfaat untuk mempertahankan dan melestarikan warisan budaya dan sebagai wujud mencibtai budaya sendiri.

Bahasa Daerah (Uab Meto) merupakan bahasa pertama atau bahasa ibu bagi orang Timor (Atoin Meto) namun seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan pendidikan yang semakin maju maka orang Timor (Atoin Meto) lebih mengadopsi dan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Pernyataan tersebut dapat ditemui di kalangan generasi muda dalam komunikasi sehari-hari yang jarang menggunakan bahasa Daerah (Uab Meto), maka sangat mungkin bahwa Uab Meto akan semakin memudar bahkan akan punah. Kondisi seperti ini perlu diwaspadai agar tidak berakibat pada matinya bahasa tersebut.

Sungguh menjadi tantangan terbesar bagi berbagai elemen bagaimana mempertahankan tanpa terdisrupsi oleh zaman. Bagaimana pola bimbingan bagi generasi Z untuk tetap mengemban budaya sebagai salah satu kearifan lokal, tanpa harus memaksa mereka keluar dari koridor generasi yang mereka emban.

Pemerintah sebagai fasilitator diharapkan mampu menjadi jembatan penghubung supaya kearifan lokal tidak akan pernah luntur dan terdistraksi zaman.

Bahasa adalah jati diri penuturnya. Uab Meto adalah warisan budaya Atoin Meto yang berperan sebagai sarana komunikasi di era revolusi industri bagi generasi Z yang mencerminkan jati diri penuturnya karena itu, lindungi dan lestarikan Uab Meto dari fenomena disrupsi budaya. Salam Budaya

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman