Naketi - SOE POST

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 22 November 2023

Naketi



Penulis : Leksi Y. Salukh


BUDAYA tidak saja menjadi ciri yang membedakan suatu komunitas sosial dengan komunitas yang lainnya, tetapi juga menjadi ciri yang mengikat anggota dalam komunitas tertentu. Budaya yang muncul dalam bentuk tradisi, salah satunya, berada dalam bingkai pemahaman demikian. Salah satu tradisi yang menonjol dalam masyarakat Suku Dawan adalah tradisi/ritual pengakuan dosa, atau ungkapan rasa yang dikenal dengan istilah Naketi. Naketi dilakukan ketika seorang warga Suku Dawan berada dalam situasi kritis karena masalah ataupun juga karena sakit penyakit. Tradisi Naketi tidak dilakukan pada sembarang waktu dan tempat, tetapi dilakukan pada konteks yang sangat khusus.


Tokoh masyarakat Desa Bone, Kecamatan Amanuban Tengah, TTS, sekaligus penutur adat, Yusak Tunu, menuturkan Naketi adalah sebuah kebiasaan bagi orang Timor Dawan di Kabupaten TTS untuk mengaku dosa dan mengeluarkan isi hati atau ungkapkan rasa  selama menjalani hidup ketika mengalami masalah atau jatuh sakit.


“Tidak sembarang orang Timor atau Dawan duduk Naketi bersama dengan keluarga, kecuali pada saat ada masalah atau jatuh sakit," kata Yusak.


Ia menuturkan, tradisi naketi ini merupakan tradisi yang ada sejak dulu dan masih bertahan sampai sekarang, meskipun tradisi ini mulai diabaikan oleh orang-orang tertentu, oleh karena kepercayaan terhadap agama dan khusus sakit ada keyakinan terhadap proses penyembuhan secara medis. Namun, sebagian masyarakat Dawan masih memegang teguh tradisi ini.


Mujarabnya Naketi dalam mengalami masalah sangat kaitan erat dengan ketulusan, keikhlasan, dan keyakinan pelaku Naketi dalam mengakui semua kesalahan yang dilakukan. Meskipun sebagai manusia tidak mudah, namun kesalahan itu harus diakui dalam acara Naketi bersama dengan keluarga. Uniknya, ketika salah satu anggota keluarga yang mengalami masalah atau menderita sakit harus melakukan naketi di hadapan keluarga yang adalah musuh sebelumnya, yang bersangkutan tetap harus mengungkapkan kesalahannya dengan jujur, sementara keluarga yang pernah berselisih pun harus menerima pengakuan tersebut dengan tulus dan ikhlas. Jika keluarga yang pernah berselisih tidak mau menerima dengan tulus dan ikhlas, maka tantangan dan persoalan akan menghadang dalam berbagai bentuk.  


"Biasanya kalau anggota keluarga yang bersalah mengakui kesalahannya dalam naketi,  maka sekalipun yang benar harus mau menerima dengan tulus dan ikhlas, karena jika tidak demikian maka tantangan dan cobaan akan beralih ke pihak yang tidak tulus terima pengakuan," ujar Yusak.


Selain itu, jika dalam Naketi, yang bersangkutan tidak mengungkapkan kesalahan secara  tepat atau pengakuan naketi salah, maka orang yang mengalami cobaan tersebut akan terus didera oleh yang bersangkutan. 


"Kalau salah bahas dalam naketi, maka tidak dapat terselesaikan semua hal. Tapi jika mengena maka langsung ada perubahan, tetapi ketika topik yang diakui benar maka dipastikan semua persoalan akan keluar dan penyakit yang diderita akan hilang sendiri tanpa pengobatan," kata Yusak. 


Ia melanjutkan, setelah masyarakat Timor menerima agama semitik sebagai kepercayaan, proses naketi ditutup dengan doa dengan memegang persembahan masing-masing sebagai tanda syukur. Selain itu, setelah naketi disiapkan juga makan minum bersama, dilanjutkan dengan pihak-pihak yang berselisih harus saling berjabatan tangan dan berciuman. Beberapa persoalan yang dihadapi dan kerap dilakukan naketi yakni  di saat anak-anak tidak berhasil dalam pendidikan di sekolah. Keluarga yang bersangkutan bisa melakukan naketi untuk mencari akar persoalan yang menjadi penyebab terhambatnya anak di sekolah.


Katerina Tunu Warga Polli  mengalami persoalan yang demikian. Dia  mengaku bahwa kerap kali anaknya tidak bisa menamatkan sekolah karena malas. Tantangan lain dari si anak adalah  sakit sehingga tidak bisa ke sekolah. Ketika Ibu Katerina mencari akar masalahnya melalui naketi, terungkap bahwa anaknya tersebut tidak bisa bersekolah dengan baik, karena sejak dulu nenek moyang mereka melarang menyekolahkan anak. Nenek moyang mereka beranggapan kalau anak-anak sekolah, maka suatu saat ketika menamatkan pendidikan maka mereka cenderung untuk tidak menghargai orang tua. Setelah dilakukan naketi dan ditemukan penyebabnya demikian, maka dilakukan persiapan untuk doa putus. Hasilnya, anak Ibu Katerina terus melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.


Hal sama juga disampaikan Selfina Tauho Ketika hendak memasang listrik di rumahnya dia menemukan  sejumlah masalah, sehingga proses pemasangan berlarut-larut.  Tapi ketika dilakukan naketi, ditemukan akar persoalan yakni pada zaman dulu nenek moyang hidup dalam kegelapan. Untuk penerangan malam, mereka menggunakan lampu dari biji damar. Karena itu untuk memudahkan  memasang listrik, maka dilakukan doa kepada arwah leluhur. 


"Di rumah, saya mau pasang listrik sekitar enam bulan proses tak berujung, tapi ketika naketi dan mengaku serta melakukan doa, maka dapat jalan keluar dan proses itu cuma satu minggu sudah terpasang dan bisa nyala," kata Ibu Selfina. 


Pasangan suami istri Semi Mekoli dan Elisabet Sayuna,  juga mengaku bahwa sebelum adat nikahnya diberikan kepada atoin amaf sering mengalami cobaan. Tetapi ketika naketi dan mengaku untuk melakukan proses adatnya maka semua persoalan yang dialami berakhir dengan sendirinya. 


"Dalam pernikahan kami sebelum proses adat, kami dihantui berbagi cobaan, tapi ketika proses adat selesai maka dengan sendirinya semua berakhir dan sampai saat ini kita tidak alami hal sama," kata Semi dibenarkan istrinya.


Naketi juga dilakukan pada saat orang sakit. Apabila orang itu semasa sehat melakukan sesuatu kesalahan, tapi tidak pernah mengakui dan  berdoa, maka ketika proses naketi dilakukan dan diakui lalu didoakan, ada dua kemungkinan yang dihadapi orang yang sakit berat. Pertama, ia akan segera sadar dan sembuh, sementara yang kedua, ia akan meninggal dunia, jika jalannya demikian.


Naketi juga dilakukan ketika seseorang merasakan gaduh dengan kondisi tertentu, seperti dalam keluarga juga tak saling menghargai antara orang tua dengan anak-anak atau kakak adik yang dalam  kehidupan sehari-hari  tidak akur.


"Biasanya ketika tidak akur maka di selesaikan dengan duduk bersama-sama dan saling menyampaikan isi hati "Naketi" agar persolan tersebut bisa berkahir,"Kata Tokoh Masyarakat Desa Niki-niki Un Kornelis Naat.


Dia menjelaskan tak selamanya Naketi dimulai oleh orang-orang bersangkutan yang memiliki masalah, tapi ada pihak lain yang merasa terganggu dengan kondisi itu, maka bisa inisiatif mengambil langka tersebut untuk mengumpulkan semua pihak bermasalah untuk duduk bersama. Kerap kali kalau biasanya kehidupan tengah jemaat dalam umat kristiani terjadi perselisihan dan sulit ada komunikasi antar jemaat, maka majelis jemaat seperti penatua atau diaken ataupun tokoh jemaat lain yang memiliki kapasitas bisa mengambil langka untuk mempertemukan dan dari pihak-pihak tersebut mengeluarkan isi hati.  Begitupula dalam kehidupan dalam pemerintah  ada masyarakat yang tidak akur dan hidup damai, pihak pemerintah baik dari Ketua RT-Kepala Desa mengambil langka untuk mempertemukan guna mengungkapkan perasaan kemudian  dilakukan doa bersama.


"Kalau ditengah masyarakat ada warga yang kurang akur, kita bisa ambil langka inisiatif dengan mempertemukan mereka kemudian  menyampaikan isi hati(Naketi) untuk didengar bersama-sama, kemudian diselesaikan bersama dengan saling menerima antara satu sama lain dan ditandai dengan doa bersama-sama,"kata Kepala Desa Baki Kecamatan Amanuban Tengah, Asret Taneo dan Sekretaris Desa Baki Odi Nenotek.


Langka yang diambil adalah karena keprihatinan sebagai pelaksana pemerintah di Desa, tak enggan kondisi ketidakharmonisan masyarakat  berlangsung lama. Dasar diambil langkah tersebut karena  kehadiran  pemerintah sebagai wakil Tuhan di Dunia yang harus menyelesaikan.


"Kadang-kadang biasanya kita prihatin dengan kondisi yang ada, sehingga tak tega melihat situasi itu berlangsung,"Tuturnya.


Selain, sebagai orang yang dipercayai menjabat jabatan Kepala Desa tentunya memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan di desa dengan tak perlu sesuai regulasi tapi bisa selesaikan dengan kearifan lokal yang dimiliki dan diwariskan nenek moyang.


"Sekalipun bukan pejabat pemerintah atau bukan orang pengaruh, tapi  kalau ada  rasa keprihatinan dengan kondisi apa saja bisa mengungkapkan perasaan dengan mengambil langka pertemuan bersama atau menfasilitasi agar dicarikan jalan keluar guna menyelesaikan persoalan yang muncul."Ulasnya.


Mantan Kepala Desa Nobi-Nobi Maxi O. Nakamnanu menuturkan kerap kali perselisihan terjadi ditengah masyarakat diselesaikan bersama dengan ada orang-orang tertentu memiliki kapasitas menfasilitasi untuk duduk bersama dengan mengungkapkan rasa antara satu sama lain. 


"Kalau orang tertentu merasa prihatin dengan kondisi yang terjadi dan  bisa menfasilitasi dengan tujuan menyelesaikan, maka sama saja orang itu bersangkutan melakukan Naketi,"Ungkapnya.


Persoalan- persoalan di tengah jemaat atau umat, Pihak pengurus gereja selalu mengambil langka ketika suasana sudah tak kondusif dengan mempertemukan atau memediasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut,


"Selaku Tokoh gereja selalu mengambil langka untuk  menyelesaikan persoalan yang muncul ditengah jemaat karena prihatin dengan kondisi terjadi. Contoh, kasus jemaat A tersinggung dengan jemaat B, akibat dari itu berhari-hari tidak saling tegur antara jamaat A dan B, maka itu diselesaikan lewat Naketi, 


"Urai Koordinator Jemaat Rayon  Gereja Masehi Injili di Timor, Bet'el Eno Matani  Frans  Lassa.


Pada umunya Naketi dilakukan untuk saling mengeluarkan perasaan dalam hati, agar tak berkepanjangan perselisihan dan konflik yang terjadi ditengah keluarga kehidupan bermasyarakat dan berjemaat. Kata Tokoh Masyarakat Desa Netpala, Kecamatan Mollo Utara, Martinus Eni. 


Dalam makalah penelitian seorang mahasiswa Pascasarjana  Fakultas Kedokteran UGM, Maria Lupita Meo tentang Tradisi  Naketi  dalam Prespektif Keperawatan yang lebih difokuskan pada kesehatan terungkap bahwa tradisi naketi dapat dijadikan suatu sistem dukungan yang kuat bagi ibu hamil dalam menghadapi persalinan. Masyarakat memiliki sistem kekerabatan kuat yang mengarah ke extended family  dengan banyak hubungan antara individu dalam masyarakat lain.  Melalui naketi, ibu  mendapatkan dukungan moril dari suami dan sanak kerabat. Naketi juga diyakini untuk mendapatkan dukungan dari seluruh anggota  suku sehingga diharapkan mampu  menekan kecemasan ibu menjelang persalinan.


Tradisi naketi  diwariskan secara turun temurun. Ibu yang menjalani tradisi naketi yakin dan percaya  bahwa telah mendapat  restu dari leluhur, sehingga proses persalinan akan berjalan lancar tanpa pertolongan fasilitas dan tenaga kesehatan. 


Tradisi naketi dilakukan pada saat-saat menjelang proses persalinan apabila saat proses persalinan ibu mengalami hambatan seperti kemajuan persalinan lama (partus lama) yang disebabkan oleh distosia dan penghambat persalinan lainnya. Jika didapatkan kasus tersebut maka akan segera dilakukan proses naketi saat itu juga.  Gambaran umum proses naketi adalah pengakuan kesalahan atau dosa istri kepada suami dengan cara bertatap muka langsung, dilanjutkan pengakuan kesalahan atau dosa di hadapan keluarga besar.


Setiap kesalahan yang diucapkan akan dilambangkan dengan sebongkah batu kecil/kerikil. Setelah selesai pengakuan dosa, batu-batu yang menurut keyakinan perwujudan kesalahan atau dosa ibu akan dibuang melalui upacara khusus yakni doa bersama dan bersalaman. Menurut kepercayaan masyarakat, dosa atau kesalahan ibu (sebelum bersalin) yang berhubungan dengan adat istiadat, maupun persoalan dengan suku  harus diselesaikan sebelum melahirkan melalui  naketi.


Masyarakat meyakini jika tidak dilakukan naketi akan menghambat proses persalinan. Dan bila selama proses persalinan terdapat hambatan maka hambatan tersebut disebabkan ibu atau kerabat ibu tersebut masih memiliki “utang” dosa atau kesalahan terhadap adat, leluhur, dan sesama anggota suku. Setelah menjalani tradisi Naketi ibu merasa tidak ada beban  dan mendapatkan dukungan keluarga besarnya maupun leluhur sehingga merasa siap untuk bersalin. Sesuai hasil penelitian, secara eksplisit menjelaskan adanya hubungan antara sistem pendukung sosial (Naketi) terhadap proses persalinan. Didapatkan hasil bahwa dukungan suami dan keluarga yang dominan terhadap wanita hamil akan memberikan dampak positif terhadap fisik dan emosional dari calon ibu tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman