Dari Demokrasi Desa Menuju Demokrasi Indonesia - SOE POST

Berita Soe TTS

test banner

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 08 Mei 2023

Dari Demokrasi Desa Menuju Demokrasi Indonesia


P
enulis Sergio D.J. Mendes Nono (Ketua Pospera Kabupaten TTU/NTT)


Agenda politik seperti pemilu, pilkada dan pilkades tidak saja membentuk kekuasaan, tetapi juga membentuk karakter kehidupan berdemokrasi, baik tingkat nasional, daerah dan desa. Warna demokrasi desa akan menjadi warna demokrasi Indonesia. Potret demokrasi desa akan menjadi gambaran perilaku politik masyarakat Indonesia dan selanjutnya mewarnai akan seluruh aspek kehidupan masyarakat. 


Desa menjadi arena demokrasi dan ajang politik praktis. Agenda politik nasional dan daerah bahkan desa, semuanya bermuara pada arena politik desa. Sejauh mana partisipasi politik dan apakah rawan konflik atau tidak, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat melek politik. 


Pendidikan politik di desa akan mewarnai kehidupan demokrasi desa, baik untuk agenda politik nasional, daerah maupun desa itu sendiri. Bagi mereka, kehidupan demokrasi desa telah banyak mengalami kemunduran. Sekarang ini, politik praktis di desa telah diwarnai dengan politik identitas, politik uang, dan tim sukses berbayar, baik saat pemilu, pilkada, maupun pilkades.


Demokrasi desa sesungguhnya kental dengan semangat toleransi, tenggang rasa dan tanpa pamrih, namun saat ini mulai luntur. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Ini harus dilawan dengan pendidikan politik. Tidak saja wacana, tetapi juga dalam politik praktis. Salah satu komitmen dalam kampanye pilkades adalah melakukan pendidikan politik.


Target utamanya adalah menghidupkan kembali kehidupan demokrasi desa yang bermartabat, toleran, dan saling menghargai. Bahwa membangun demokrasi di Indonesia, harus dimulai dengan menghidupkan kembali demokrasi desa melalui pendidikan politik.


Pilkades merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilu tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang begitu mengena kalau dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat. 


Pada moment ini, masyarakat yang akan menentukan siapa pemimpin desanya selama 6 tahun ke depan. Banyak bentuk pesta demokrasi yang telah digelar dalam kehidupan politik kita sekarang. Pilpres, Pilkada Gubernur, Pilkada Bupati dan Pemilu Legislatif. Tak ketinggalan adalah Pilkades. Begitu menarik bagi saya untuk mengkaji lebih dalam tentang budaya pemilihan kepala desa ini.


Dalam pelaksanaannya begitu mendetail keterkaitan antara pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaannya. Sehingga, perlu ketelitian dari tiap calon pemilih dalam menilai calon pemimpin yang akan dipilihnya tersebut. Namun pilkades terasa lebih spesifik dari pada pemilu-pemilu di atasnya. Yaitu adanya kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon. 


Sehingga, suhu politik di lokasi sering kali lebih terasa dari pada saat pemilu-pemilu yang lain. Pengenalan atau sosialisasi terhadap calon-calon pemimpin bukan lagi mutlak harus lagi penting. Para bakal calon biasanya sudah banyak dikenal oleh setiap anggota masyarakat yang akan memilih. 


Namun demikian sosialisasi program atau visi misi sering kali tidak dijadikan sebagai media kampanye atau pendidikan politik yang baik. Kedekatan pribadi, akan sering kali banyak dipakai oleh masyarakat untuk menentukan pilihannya. 


Di sini unsur nepotisme masih begitu kental membudaya. Demikian juga dengan kolusi, hubungan baik dalam berbagai posisi juga banyak dijadikan sebagai unsur penentuan hak pilih. Demikian juga dengan unsur Money politik yang sering dijadikan iming-iming dorongan dalam pemilihan. 


Hal demikian akan menjadikan para calon harus mengeluarkan biaya yang begitu besar. Persaingan antar calon sering kali juga terjadi dengan berlebihan. Kalau demikian ini yang terjadi usaha penghapusan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme ) akan terasa sulit diwujudkan.


Di sini pendidikan politik perlu dikembangkan. Kerelaan berkorban untuk kepentingan desa yang juga merupakan bagian dari bangsa dan negara ini tentu perlu diwujudkan. Tidak semua pengorbanan harus diukur dengan kontribusi uang. Kalau budaya Money politik di tingkat desa bisa dikikis, tentu sedikit demi sedikit di tingkat yang lebih atas seperti Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dan DPR hingga pemilihan Presiden akan dapat diwujudkan proses pemilihan pelaksana pemerintahan yang jujur dan adil.


Pilkades merupakan bagian dari proses kegiatan politik untuk memperkuat partisipasi masyarakat. Sehingga diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan di tingkat pedesaan. Semula kita hanya mengenal pesta demokrasi secara langsung berupa Pilkades ini. 


Sehingga pelaksanaannya banyak keluar dari etika dan norma politik. Money politik dengan berbagai bentuknya sulit sekali dihindari. Kemudian sejak era reformasi masyarakat dibudayakan dengan pemilihan pimpinan dengan cara pemilihan langsung. Dengan adanya Pilkades di harapkan masyarakat dapat terlatih untuk peduli kepada pemimpinnya, serta sadar terhadap apa, siapa, dan bagaimana pemimpin yang akan di pilih nanti.


Demokrasi Desa itu rasanya seperti Nano-Nano salah sedikit konflik. Enak kalau politik demokrasi Nasional. Kubu-kubu yang terbentuk secara umum jelas, menang penguasa, kalah oposisi.


Berbeda dengan Desa, tendensinya pada tataran kekeluargaan, sakit hati, luka lama dan hal-hal semacam itu. Sensitif, Begitulah yang saya amati dalam beberapa Minggu ini.


Pendidikan Politik masih sangat rendah di desa. Konflik antar warga, luka lama, sakit hati, adalah senjata utama melakukan kampanye atau sosialisasi. Setiap kandidat tentu memiliki permasalahan yang tidak mungkin dilupakan oleh masyarakat. 


Permasalahan itu biasanya abadi jika sudah ada kepastian bahwa penyelesaiannya telah selesai.  Desa telah mengenal demokrasi sebelum negara kita terbentuk. Demokrasi desa memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai masyarakat komunal, warga desa kental dengan sikap toleran, tolong menolong, gotong royong dan saling menghargai. Kondisi ini pun membentuk kehidupan demokrasi desa yang juga toleran, saling menghormati, saling menolong, berpartisipasi secara sukarela, dan mengedepankan kemanusiaan.  


Saya melihat dan mengamati gejolak-gejolak sosial yang terjadi di desa dan karena itu yang selama ini sudah tercemari dengan politisasi SARA dan politik uang seharusnya kita cepat sadar akan  Penguatan demokrasi desa menjadi pintu masuk untuk membangun demokrasi kita yang bermartabat, toleran dan manusiawi.


Saya mengajak seluruh stack holder di desa untuk duduk bersama diskusi lalu mencari solusi serta bersama mengawal untuk kemudian Pilkades serentak di kabupaten Timor Tengah Utara bisa berjalan dengan baik dan sukses dan bisa meredam seluruh gejolak sosial yang terjadi sehingga siapapun yang terpilih, persaudaraan dan  kekeluargaan tetap terjalin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Halaman